Regulasi gambut berpotensi menimbulkan ketimpangan



PEKANBARU. Akademisi dari Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau Dr Djaimi Backe menilai regulasi gambut yang tertuang Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17 Tahun 2017 berpotensi menimbulkan ketimpangan.

"Dalam beberapa hal regulasi ini baik, namun nanti dalam pelaksanaannya akan terjadi ketimpangan antara pemerintah pusat dan daerah," kata Djaimi di Pekanbaru, Sabtu (29/4).

Permen LHK Nomor P.17 Tahun 2017 merupakan salah satu dari aturan operasional dari PP Nomor 57/2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.


Regulasi tersebut memberikan kebijakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTI) yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 % ditetapkan menjadi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung, dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap).

Kebijakan tersebut dinilai kalangan akademisi tidak memungkinkan untuk diterapkan. Salah satunya ketersediaan lahan pengganti untuk menggantikan lahan yang terdampak dari kebijakan Permen LHK P.17/2017 ini. Meskipun ada, lahan baru itu belum tentu baik untuk dunia usaha.

"Kalau, misalnya, pabriknya di Riau, bahan bakunya ada di Kalimantan atau di Papua sana, mungkin tidak untuk usaha? Secara nasional ini akan sangat mengganggu kepastian investasi," katanya.

Djaimi mengatakan, daerah-daerah yang wilayahnya didominasi lahan gambut seperti Provinsi Riau akan mengalami masalah. Sumber utama APBD Riau datang dari industri kehutanan.

Karena itu Riau bakal kehilangan pendapatan daerah karena adanya kebijakan tersebut. Perekonomian masyarakat juga akan terganggu karena jumlah masyarakat Riau banyak yang hidupnya bergantung pada industri kehutanan.

"Khusus untuk Riau dan Indonesia pada umumnya, kita harus buka mata lebar-lebar," katanya.

Editor: Yudho Winarto