Resesi dunia berikutnya diramal akan jauh berbeda dari resesi 2008



KONTAN.CO.ID - NEW YORK.  Resesi. Satu kata ini tengah menjadi momok perekonomian dunia beberapa waktu terakhir. Resesi merupakan penurunan tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) selama dua kuartal beruntun. Ini merupakan bagian dari pasang surut keuangan. Tetapi resesi  sulit untuk dikategorikan lebih lanjut. 

"Sifat setiap resesi berbeda dan tidak dapat diprediksi," kata Tenpao Lee, seorang profesor ekonomi di Universitas Niagara seperti yang dikutip dari Fortune, Senin (2/9). "Beberapa resesi memiliki dampak minimal dan beberapa signifikan dan membuat semua orang lebih miskin."

Baca Juga: Perang dagang memukul AS, Trump: China akan lebih menderita


Secara keseluruhan, resesi 2008 pada umumnya mengerikan. "Ada penurunan sekitar 50% atau 60% pada S&P," kata Greg Ghodsi, direktur pelaksana 360 Wealth Management Group di Raymond James. Adapun suatu kondisi disebut resesi jika penurunannya mendekati 30%.

Tingkat PDB juga mendapat pukulan besar pada 2008. Menurut Ted Rossman, seorang analis industri di CreditCards.com, penurunannya mencapai 5,1 poin persentase. Bandingkan dengan 2,7 poin dari 1981 hingga 1982, 1,4 poin dari 1990 hingga 1991, dan 0,3 poin pada 2001. "Jika dibandingkan penurunan itu hampir tidak ada apa-apanya," kata Rossman.

Baca Juga: Dunia Terancam Resesi, Harga Emas Malah Makin Seksi premium

Resesi mungkin sudah terjadi

Melansir Fortune, mempersiapkan diri untuk menghadapi resesi bisa jadi sulit karena kita tidak pernah tahu siapa pihak yang paling tersakiti. Beberapa bisnis berkembang karena bisnis mereka kontra-siklus dan menemukan lebih banyak pelanggan. Misalnya saja pengacara untuk perusahaan-perusahaan yang bangkrut dan toko-toko diskon. Sedangkan bisnis yang lainnya: menderita.

"Mencoba untuk mengatur waktu juga merupakan hal yang tidak mungkin. Kami tahu bakal ada resesi yang akan datang. Mungkin tahun depan, mungkin 2021. Kita akan masuk pada siklus berakhirnya  bisnis," kata Cindy Kuppens, COO dari O'Brien Wealth Partners seperti yang dikutip Fortune.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie