Revisi UU tentang pertambangan mineral dan batubara masih menimbulkan polemik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Undang-Undang (RUU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih menimbulkan polemik. Masih ada beberapa poin pada beleid tersebut yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan stakeholder terkait.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, salah satu poin yang cukup menjadi perhatian bagi pihak pengusaha adalah kewajiban hilirisasi hasil tambang.

Baca Juga: Aplikasi Modul Verifikasi Penjualan, Cegah Praktik Ilegal Penjualan Batubara


Dahulu, poin ini tertuang dalam pasal 103 ayat 1. Di sana tertulis pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Menurut Hendra, bisnis hilirisasi pertambangan, khususnya batubara masih cukup menantang. Dibutuhkan teknologi yang lebih canggih untuk menunjang kegiatan tambang batubara di sektor hilir.

Di samping itu, hilirisasi merupakan proyek bisnis jangka panjang yang mana modal investasi yang dikucurkan investor kemungkinan baru akan kembali 10 atau 20 tahun lagi. Belum lagi masalah harga jual produk hilir dari batubara yang masih menimbulkan perdebatan.

“Pemerintah perlu membuat kebijakan dan peraturan pelaksana yang dapat menjamin nilai keekonomian bisnis hilir,” ungkap dia kepada Kontan, Senin (2/12).

Baca Juga: Kementerian ESDM: RUU Minerba masih proses evaluasi menyeluruh

Di sisi lain, ketika tantangan hilirisasi batubara belum usai, perusahaan-perusahaan batubara besar juga disibukkan oleh ketidakpastian perpanjangan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Catatan Kontan terdapat PT Tanito Harum yang kontraknya habis di tahun ini, namun pemerintah membatalkan perpanjangan izin kontraknya. Selain itu, ada beberapa perusahaan PKP2B lainnya yang habis kontrak di rentang waktu 2019-2025.

Editor: Handoyo .