KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengajukan reformasi perpajakan melalui Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Calon beleid ini telah disepakati antara pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI, pekan lalu. DPR mengagendakan, RUU HPP akan dibahas pada Rapat Paripurna RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas beleid sapu jagad perpajakan tersebut, Kamis (7/10). Jika perlemen mengesahkan, maka RUU HPP akan disegara ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dapat diundangkan. Ada beberapa ketentuan dalam RUU HPP yang mengundang perhatian publik.
Misalnya, soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan naik menjadi 11% dari yang berlaku saat ini sebesar 10%. Kemudian, menambah satu layer tarif pajak penghasilan (PPh) orang oribadi sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun.
Baca Juga: Tax amnesty jilid II untuk meningkatkan rasio pajak Lalu, pemerintah juga berencana menggelar pengampunan pajak atau program pengungkapan sukarela wajib pajak dengan memberikan tarif rendah bagi para pengemplang pajak yang berkisar 6%-18%, atau di bawah tarif PPh orang pribadi tertinggi yang berlaku saat ini sebesar 30%. RUU HPP juga memberikan mandat agar penyidik pajak bisa menangkap dan menyita aset wajib pajak. Namun, RUU HPP tak mengakomodir rencana pemerintah untuk menurunkan tarif PPh badan tahun depan menjadi 20%. Dus, tarif PPh Badan tahun depan masih sama dengan ketentuan saat ini yakni 22%. Pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan Ronny Bako menilai isi dari RUU HPP sudah mencermikan reformasi perpajakan yang berkeadilan. Sebab, Ronny menilai bahwa pemerintah bersama dengan parlemen tetap mau mendengarkan masukkan dari stakeholder dan masyarakat. Misalnya, dengan tetap mengecualikan sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari objek PPN. Kenaikkan tarif PPN juga lebih rendah dari usulan pemerintah sebelumnya sebesar 12%. Ronny menilai, kenaikan PPN tidak akan mendistorsi ekonomi di tahun depan, selama proses pemulihan ekonomi berjalan sesuai dengan skema pemerintah dengan target pertumbuhan ekonomi 5,2% dan tingkat inflasi 3%. Dari sisi penambahan lapisan tarif PPh orang pribadi, Ronny mengatakan, kebijakan tersebut pantas dilakukan untuk memberikan efek fairness bagi wajib pajak. Sebab, orang tajir di Indonesia makin banyak. “Meski PPh badan pun tidak jadi turun, sebetulnya wajib pajak kan realitasnya tetap bisa meminta dispensasi kepada otoritas pajak untuk membayar pajak lebih rendah dan itu legal. Lagi pula kalau rugi kan tidak perlu bayar PPh,” kata Ronny kepada Kontan.co.id, Rabu (6/10). Menurut Ronny, apabila RUU HPP disahkan maka target penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp 1.265 triliun bisa tercapai. Namun, Ronny berharap, pemerintah tidak hanya menggandalkan klausul dalam beleid tersebut, tapi juga tetap melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi.
Ia mencontohkan, mengejar harta kekayaan orang kaya raya yang merupakan
beneficial ownership perusahaan. Cara ini bisa menggenjot penerimaan PPh orang pribadi di tahun depan. Selanjutnya, memberlakukan pajak ekspor berjenjang untuk batubara serta minya dan gas (migas) atau sama seperti yang ketentuan pajak ekspor di kelapa sawit saat ini. Apalagi harga komoditas saat ini tengah dalam tren melonjak. “Tapi upaya-upaya tersebut tidak bisa hanya dilakukan oleh Kemenkeu, tapi harus benar-benar kerjasama dengan Kemenkumham, Kemendag, dan lain-lain,” kata Ronny.
Baca Juga: Ekonom sebut program pengampunan pajak jilid II bisa timbulkan crowding out effect Editor: Khomarul Hidayat