KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU ET) sangat diperlukan untuk memudahkan dan mempercepat proses transisi Indonesia dari penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan. Indra Sari Wardhani, Energy Project Leader Yayasan WWF Indonesia mengatakan, RUU ET sangat diperlukan untuk memenuhi target porsi energi terbarukan di Indonesia sebesar 23% di tahun 2025 nanti. Hingga tahun 2019, porsi energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 12% atau setara 10,17 gigawatt (MW). Menurutnya, RUU ET menjadi momentum yang dapat menjamin kepastian hukum bagi pengembangan energi terbarukan sebagai satu-satunya andalan energi Indonesia dan transisi menuju energi yang bersih dan berkelanjutan.
“Hal ini patut diperhatikan karena cadangan energi fosil terus menurun, di sisi lain potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan sangat besar,” ujar Indra Sari dalam webinar, Rabu (23/9).
Baca Juga: Pengembang PLTN menilai ada pasal selundupan dalam RUU EBT Dia menyebut, RUU ET seharusnya benar-benar difokuskan pada energi terbarukan dan mengeluarkan nuklir maupun energi baru berbasis fosil dari beleid tersebut. Dengan keberadaan RUU ET, pengembangan energi terbarukan dapat diarahkan untuk mengatasi krisis energi dan transisi dari energi fosil yang memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat. Adanya RUU ET juga diharapkan dapat menciptakan kondisi pemungkin yang dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan dan transisi energi meninggalkan bahan bakar fosil. Indra Sari turut menyampaikan beberapa aspek penting yang harus diperhatikan dalam RUU ET, salah satunya aspek struktural. Dalam aspek tersebut, perumusan undang-undang yang efektif harus memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan hukum, memperbaiki tata kelola, dan menjadi batasan terhadap intervensi yang bersifat politis. Aspek ini juga membicarakan pentingnya penyelerasan dengan peraturan yang ada agar tidak terjadi tumpang tindih yang menyulitkan di kemudian hari. “RUU ET diharapkan dapat mengakomodir gap permasalahan yang ada dalam tataran yang lebih efektif,” kata dia. Lewat aspek struktural pula, perencanaan energi terbarukan harus dimandatkan secara jelas, khususnya terkait inventarisasi sumber daya energi terbarukan. Berikutnya, terdapat aspek tata kelola dan kelembagaan. Menurut Indra Sari, perlu dilakukan kajian kondisi tata kelola kelembagaan saat ini sehingga keberadaan RUU ET dapat memperkuat tata kelola yang ada.
Dalam hal ini, contoh implementasinya adalah mengaktifkan tupoksi kelembagaan yang belum berjalan, memperkuat kelembagaan yang ada sehingga dapat menjalankan peran dan fungsi yang diamanatkan RUU ET, membentuk kelembagaan baru bila yang ada saat ini belum cukup untuk menjalankan peran dan fungsi yang tertuang di RUU ET, serta pembagian peran pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, ada aspek sosial dan lingkungan yang penting diperhatikan dalam pembahasan RUU ET. Indra Sari menyebut, RUU ET perlu memasukan secara jelas target pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai upaya penanggulangan perubahan iklim. Selain itu, perlu ditekankan pula bahwa pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan harus memperhatikan ruang hidup masyarakat untuk menghindari atau meminimalisasi dampak sosial dan lingkungan di tingkat lokal. “Ini terutama pada pembangunan energi terbarukan skala atau kapasitas besar di wilayah dengan nilai konservasi tinggi,” tambah dia.
Baca Juga: Pengaturan nuklir masih jadi perdebatan, RUU EBT atau RUU ET? Editor: Khomarul Hidayat