SKK Migas paparkan kinerja hulu migas kuartal III-2019, ini progresnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi produksi siap jual alias lifting minyak dan gas bumi (migas) hingga Kuartal III-2019 masih di bawah target yang dipatok di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hingga September, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mencatat realisasi lifting baru menyentuh 1,8 juta barel setara minyak per hari (barrel oil equivalent per day/boepd).

Angka itu setara dengan 90% dari target APBN sebesar 2 juta boepd. Dari jumlah tersebut, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto merinci, lifting minyak mencapai 745.000 bopd dan lifting gas sebesar 1,05 juta boepd.


Baca Juga: Pertamina siapkan sejumlah program untuk kurangi defisit neraca migas

Dwi menyebut, 84% dari total lifting hulu migas berasal dari sepuluh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama, antara lain ExxonMobil, Chevron, Pertamina, BP, ConocoPhilips, Eni, Medco Energi dan Petrochina. Sementara 16% sisanya disumbang oleh 80 KKKS lainnya.

Dwi menerangkan, ada sejumlah alasan yang menghambat capaian kinerja lifting migas kuartal III-2019. Setidaknya, ada tiga alasan yang Dwi terangkan. Dwi bilang, faktor pertama yang membuat lifting tertekan ialah harga gas dunia yang mengalami penurunan.

Harga gas dunia yang anjlok hingga di bawah US$ 4 per Million British Thermal Unit (MMBTU) berakibat pada pengurangan produksi gas (curtailment), terutama pada produk gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG). Alhasil, pengurangan tersebut berdampak pada penjualan kargo gas, lantaran ada pembatalan pembelian dan penundaan penjuaalan kargo.

Baca Juga: Hingga September 2019, Pertamina EP raih pendapatan US$ 2,2 miliar

Dwi menjelaskan, pengurangan produksi LNG antara lain terjadi di LNG Bontang, LNG Tangguh, dan LNG Donggi Senoro. "Harga gas dunia terpukul. Sehingga lebih baik menyimpan gas dibandingkan menjual, itu berdampak pada cutailment," kata Dwi dikantornya, Kamis (24/10).

Di samping harga gas, Dwi juga mengungkapkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera telah mengganggu produksi di Blok Rokan. Padahal, Blok Rokan menyumbang lifting minyak kedua terbesar.

Editor: Handoyo .