KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak goreng melejit belakangan ini. Namun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum menemukan adanya dugaan kartel penyebab naiknya harga minyak goreng yang terjadi belakangan ini. Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, KPPU melihat dari dua sisi untuk menganalisis problem penyebab naiknya harga minyak goreng. Yakni dari sisi kebijakan pemerintah dan perilaku perusahaan. "Terkait apakah ada pelanggaran persaingan usaha atau tidak, kami akan terus mendalami," kata Ukay dalam konferensi pers virtual, Kamis (20/1).
Ukay mengapresiasi solusi jangka pendek pemerintah melalui subsidi harga minyak goreng. Namun, pemerintah mesti menetapkan strategi jangka panjang untuk mengantipasi kenaikan harga minyak goreng. "Harus ada penataan regulasi agar industri hilir sawit dalam hal ini pabrik minyak goreng harus tumbuh, tidak hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar saja," kata Ukay.
Baca Juga: Harga Minyak Goreng Hari Ini Masih Rp 14.000 Per Liter, Ini Sanksi Jika Melanggar Berdasarkan penelitian KPPU, beberapa pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng adalah pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO (crude palm oil) hingga produsen minyak goreng. Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Renamanggala mengatakan, CPO sebagai komoditas global akan menyebabkan produsen minyak goreng sulit bersaing dengan pasar ekspor dalam hal mendapatkan bahan baku. Padahal sejumlah produsen minyak goreng masih dalam satu kelompok usaha dengan pengekspor CPO. "Kami bisa melihat apakah nanti apabila ditemukan kami akan memanggil pelaku usaha - pelaku usaha yang dominan meminta data-data produksi minyak goreng dan biaya inputnya," ujar Mulyawan. Selain itu, KPPU menilai regulasi pemerintah saat ini belum mendorong adanya pertumbuhan industri minyak goreng dengan banyaknya aturan yang membatasi dan mengurangi persaingan usaha. Seperti Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 21/Permentan/KB.410/6/2017 yang mewajibkan industri pengolahan hasil perkebunan (termasuk minyak goreng) yang harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri. "KPPU sendiri telah mengirimkan surat saran pertimbangan agar kebijakan ini dicabut karena akan mengurangi persaingan," ucap Mulyawan. Kemudian, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 46 Tahun 2019 tentang pemberlakuan standar nasional Indonesia minyak goreng sawit secara wajib. Dalam aturan tersebut mewajibkan SNI dan kandungan vitamin A dalam minyak goreng. KPPU menilai kandungan vitamin A bisa didapatkan dalam makanan.
Aturan tersebut dinilai menjadi salah satu hambatan munculnya pelaku usaha baru, baik pelaku usaha lokal atau kecil dan menengah dalam industri minyak goreng. Oleh karena itu, KPPU meminta pemerintah mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil. Dengan semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang terintegrasi vertikal. "Untuk menjamin pasokan CPO, perlu didorong adanya kontrak antara produsen minyak goreng dengan CPO untuk menjamin harga dan pasokan," kata Mulyawan.
Baca Juga: Harga Minyak Goreng Kemasan Rp 14.000 per Liter Sudah Berlaku di Ritel Modern Editor: Khomarul Hidayat