Soroti program cofiring biomassa untuk PLTU batubara PLN, begini catatan IEEFA



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) meminta PLN mewaspadai berbagai potensi risiko dalam implementasi program cofiring. IEEFA juga meminta PLN melihat contoh dari negara lain seperti Amerika Serikat (AS) dan China yang belum berhasil bahkan tidak mendukung pemanfaatan cofiring.

Analis Keuangan Energi IEEFA Putra Adhiguna menyampaikan, ada beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab PLN mengenai kelayakan ekonomi, stabilitas pasokan bahan baku, dan tantangan teknis terkait perpanjangan umur pembangkit listrik tenaga batubara menggunakan cofiring.

Mengingat dalam setahun terakhir, tim kebijakan energi Indonesia menaruh perhatian besar untuk memperpanjang umur armada pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU) PT PLN (Persero) dengan mengalihkan sebagian kecil penggunaan bahan bakar dari batubara ke biomassa.


IEEFA pun menyoroti program cofiring  dalam pencapaian target bauran energi terbarukan 23% pada 2025. "Tanpa ada insentif yang signifikan dari pemerintah, menjadi pertanyaan besar apakah PLN akan dapat menjalankan cofiring tanpa menghadapi hambatan teknis dan keuangan," kata Adhiguna dalam keterangan tertulis yang dikutip Kontan.co.id, Selasa (9/2).

Baca Juga: Selama satu dekade, pemerintah menyuntik Rp 186,47 triliun ke BUMN

Menurutnya, rencana cofiring yang diajukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membutuhkan penciptaan industri biomassa dalam skala yang sangat besar, untuk menyediakan suplai bahan bakar cofiring yang stabil sebesar 4 juta ton sampai 9 juta ton setiap tahunnya.

Adhiguna membeberkan bahwa cofiring sebenarnya merupakan teknologi yang sudah digunakan di sejumlah negara sejak akhir tahun 1990-an. Namun hambatan dalam penggunaannya tidak banyak berubah selama 20 tahun terakhir.

Hambatan termasuk pada harga biomassa yang tinggi, tergantung pada kandungan energinya. Selain itu, membangun rantai pasok bahan baku yang stabil juga dinilai sulit, serta berbagai tantangan teknis yang kemungkinan besar akan membebani PLN secara operasional dan keuangan.

"Jika berbagai hambatan tersebut tidak dapat diatasi, belum jelas apakah teknologi ini dapat berkembang secara efisien di Indonesia. Apalagi mengingat betapa beragamnya kondisi geografis Indonesia," ujar Adhiguna.

Editor: Anna Suci Perwitasari