Tahun ini, pemerintah targetkan reklamasi bekas lahan tambang seluas 7.000 hektare



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menargetkan reklamasi bekas lahan tambang seluas 7.000 hektare (ha) di tahun ini. Angka itu lebih kecil dibandingkan realisasi di tahun lalu.

Pelaksana Tugas Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko membeberkan, target tahun ini terdiri dari 6.000 ha untuk reklamasi bekas lahan tambang dari para pemegang izin KK/PKP2B/IUP pemerintah pusat (menteri). Sementara 1.000 ha menjadi target reklamasi dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) daerah yang diterbitkan gubernur.

Sedangkan pada tahun lalu, realisasi lahan yang direklamasi mencapai 8.295 ha, lebih tinggi dari target awal yang seluas 7.000 ha. Realisasi tahun lalu terdiri dari 6.545 ha untuk reklamasi izin tambang pemerintah pusat, dan 1.080 ha untuk yang izin dari gubernur.


Baca Juga: Gubernur Anies Baswedan tampik izin reklamasi melanggar janji kampanye

Target luasan reklamasi tahun ini yang lebih rendah dari realisasi tahun lalu, hal itu terjadi lantaran masih menyesuaikan data dokumen rencana reklamasi perusahaan. Kendati begitu, Sujatmiko optimistis, pencapaian reklamasi bisa lebih tinggi, sesuai dengan tren dalam lima tahun terakhir ini.

"Hasil reklamasi selalu meningkat. Tahun lalu kita rencanakan 7.000 ha, kita bisa menghasilkan 8.295 ha yang mampu direklamasi," ungkapnya dalam webinar yang digelar Jum'at (17/7).

Merujuk pada data yang dipaparkannya, sejak tahun 2014, realisasi reklamasi lahan bekas tambang hampir selalu mengalami peningkatan.  Pada tahun 2014, realisasi reklamasi mencapai 6.596 ha, lalu naik menjadi 6.732 ha di tahun 2015.

Setahun berselang, kembali meningkat menjadi 6.876 ha. Namun di tahun 2017 turun tipis menjadi 6.808 ha. Pada tahun 2018 kembali naik menjadi 6.950 ha dan meroket ke 8.295 ha pada tahun 2019.

Sujatmiko menyebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 sebagai UU Minerba yang baru lebih mendorong perusahaan untuk menjalankan kewajiban reklamasi. Kata dia, UU Minerba baru mengandung pengaturan yang lebih tegas dari mulai sanksi denda hingga pidana, yang bahkan tidak tertera dalam UU Minerba sebelum revisi.

Sujatmiko menerangkan, sanksi pidana paling lama 5 tahun penjera dan denda paling banyak Rp 100 miliar bisa menjerat para pemegang IUP atau IUPK yang dicabut atau berakhir, namun tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pasca tambang serta tidak menempatkan dana jaminan reklamasi dan/atau pasca tambangnya.

Baca Juga: UU Minerba digugat ke MK, penyusunan PP sebagai aturan turunan terus jalan

Editor: Khomarul Hidayat