Tata niaga nikel kacau balau, hilirisasi industri nikel malah untungkan negara lain



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah mendorong hilirisasi industri nikel dinilai masih belum berjalan optimal dan justru menguntungkan pihak lain.

Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, potensi cadangan nikel Indonesia yang tergolong besar, belum memberikan dampak pada perekonomian. Menurutnya, masih banyak lubang dalam roadmap hilirisasi industri nikel.

"Hilirisasi bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah nasional, sebagian besar adalah feronikel dan nickel pig iron (NPI) yang nilai tambahnya masih rendah sekali kira-kira 25%," kata Faisal dalam CORE Media Discussion, Selasa (12/10).


Faisal melanjutkan, kondisi ini membuat praktik hilirisasi justru menguntungkan negara tujuan ekspor. Padahal pemerintah seharusnya memperkokoh industri dalam negeri.

Baca Juga: Harga komoditas naik, begini efeknya terhadap APBN menurut Bahana TCW

Dari sisi hulu, Faisal mencontohkan penerapan harga patokan mineral (HPM) yang dianggap merugikan para pelaku usaha pertambangan karena tidak mencerminkan harga internasional.

Merujuk data yang ada, pada semester I 2021, harga nikel kadar 1,8% dalam Shanghai Metal Market (SMM) dipatok sebesar US$ 79,61 per ton. Kendati demikian, harga HPM tidak mencapai setengahnya atau hanya ada dikisaran US$ 38,19 per ton.

Menurutnya, penerapan harga memang tidak harus dengan besaran yang sama dengan harga internasional. Namun, pemerintah dinilai perlu melakukan penyesuaian harga setidaknya ada dikisaran US$ 50 - US$ 60 per ton.

Faisal melanjutkan, para pelaku usaha pertambangan pun dihadapkan pada potensi kehilangan pendapatan mengingat praktik dagang yang terjadi saat ini masih merugikan.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, praktik selisih hitung kadar nikel yang terjadi antara surveyor di sisi hulu dan hilir sudah merugikan pelaku usaha sektor hulu dan berdampak pada penerimaan negara.

Kata Mohammad, semisal terjadi perbedaan selisih kadar dengan besara 0,37% saja maka jika dikalikan dengan HPM dan produksi untuk tahun 2020 yang sekitar 14 juta ton maka ada kerugian dari penerimaan negara dari pembayaran royalti.

"Berkurang penerimaan royalti ini setara Rp 400 miliar per tahun kalau mengacu ke kasus tahun 2020," terang Mohammad.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, ada sejumlah praktik dagang di idnustri nikel yang berjalan tidak sesuai ketentuan dalam Permen ESDM nomor 11 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.

"Dalam perjalanan, industri hilir menolak dan tidak mau melakukan kegiatan transaksi melalui HPM yang ditetapkan," kata Meidy. Padahal para pelaku usaha pertambangan diwajibkan untuk membayar royalti dan PPH berdasarkan besaran harga HPM.

Baca Juga: Harga logam industri naik, cek lagi rekomendasi saham emiten sektor ini

Editor: Khomarul Hidayat