Tekanan Kelas Menengah dan PHK Berisiko Lemahkan Konsumsi Rumah Tangga pada 2026



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tekanan pada kelas menengah serta berlanjutnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berisiko melemahkan konsumsi rumah tangga pada tahun 2026.

Kondisi ini terjadi di tengah perlambatan ekonomi, serta meningkatnya tekanan pada pasar tenaga kerja sepanjang 2025.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 10 juta penduduk kelas menengah turun kelas hingga akhir 2024.


Sementara itu, data Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan jumlah PHK sepanjang Januari hingga November 2025 mencapai 79.302 orang, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2024 sebanyak 77.965 orang.

Baca Juga: Korban PHK 2025 Tembus 79.000, Ini Cara Cepat Klaim JKP: Panduan Pekerja Ter-PHK

Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman menilai, penyusutan kelas menengah dan meningkatnya PHK berpotensi melemahnya konsumsi rumah tangga ke depan.

Menurut Rizal, dengan penyusutan sekitar 10 juta penduduk dari kelas menengah ke kelas bawah, membuat struktur konsumsi bergeser ke kebutuhan dasar, sementara belanja non-esensial yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan justru melemah.

“Kondisi ini membuat konsumsi semakin sensitif terhadap dinamika pasar kerja dan pendapatan,” ujar Rizal kepada Kontan, Kamis (25/12/2025).

Dalam jangka pendek, Rizal menilai bantuan sosial tetap penting untuk menjaga konsumsi kelompok rentan agar tidak turun lebih dalam. Namun, bansos dinilai belum cukup untuk mendorong ekspansi konsumsi agregat secara berkelanjutan jika tekanan terhadap kelas menengah terus berlanjut.

Baca Juga: PHK Meningkat, Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan BPJS Ketenagakerjaan Melonjak

"Bansos pada dasarnya hanya menjaga batas bawah konsumsi, bukan mendorong ekspansi konsumsi agregat secara berkelanjutan jika kelas menengah terus tertekan,” katanya.

Rizal juga melihat risiko PHK berlanjut pada 2026 masih terbuka, terutama jika pelemahan permintaan, tekanan biaya usaha, dan upaya efisiensi perusahaan terus berlangsung. 

PHK menurutnya, tidak selalu muncul dalam bentuk gelombang besar alias PHK massal, tetapi bisa terjadi secara bertahap melalui pengurangan jam kerja, kontrak yang tidak diperpanjang, hingga pembekuan rekrutmen.

Rizal menyebut, pemerintah harus melakukan kebijakan untuk memitigasi risiko sejak dini. Beberapa langkah yang dinilai krusial antara lain memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) agar jeda pendapatan pasca-PHK tidak terlalu panjang, mendorong skema retensi tenaga kerja di sektor padat karya, serta menjaga stabilitas biaya produksi dan iklim usaha.

Untuk mendorong konsumsi rumah tangga pada 2026, Rizal menilai insentif fiskal yang paling efektif adalah kebijakan yang langsung menyasar kelompok berpendapatan rendah dan menengah, yang memiliki kecenderungan belanja lebih tinggi. Salah satunya dengan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Baca Juga: Jumlah PHK Tembus 79.302 hingga November 2025, KSPN: Masih Akan Terus Berlangsung

“Dalam konteks ini, menaikkan PTKP relatif lebih tepat dibanding penurunan PPN, karena dampaknya lebih terarah dan multiplier ke konsumsi biasanya lebih besar,” ujarnya.