Tercapainya herd immunity di Indonesia masih sangat jauh, ini penjelasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo berharap herd immunity di Tanah Air segera terbentuk setelah 10 juta dosis vaksin Sinovac tiba di Indonesia. Namun berdasarkan data, ahli epidemiolog pesimis. 

Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Presiden Joko Widodo berharap kekebalan kelompok (herd immunity) di Indonesia dapat segera terbentuk. Hal itu disampaikan Jokowi setelah Indonesia menerima 10 juta bulk (bahan baku) vaksin Covid-19 buatan Sinovac, Minggu (20/6/2021). 

"Vaksin-vaksin ini diharapkan akan memperkuat upaya pemerintah dalam mempercepat program vaksinasi nasional sehingga kekebalan komunal bisa segera tercapai," tulis Jokowi dikutip dari akun Instagram miliknya, @jokowi. 


Dengan kedatangan vaksin tahap ke-17 ini, Jokowi menjelaskan bahwa saat ini Indonesia telah menerima sebanyak 104.728.400 dosis vaksin dari Sinovac, AstraZeneca, dan Sinopharm. 

Baca Juga: Vaksin covid-19 efektif membentuk imun tubuh

Lantas, bisakah herd immunity tercapai di Indonesia mengingat semakin banyak varian virus corona baru yang lebih menular? 

Menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi ahli epidemiologi Universitas Airlangga (Unair), Dr dr Windhu Purnomo. Windhu menjelaskan, Indonesia masih sangat jauh untuk mencapai herd immunity. 

Tantangan yang dihadapi Indonesia setidaknya ada dua, yakni kesediaan vaksin dan varian virus corona yang terus berkembang. 

Baca Juga: Penerapan prokes dan vaksin tak cukup tekan kenaikan kasus Covid-19

1. Kesediaan vaksin 

Ketika penyebaran virus corona masih merupakan jenis yang asli (virus pertama yang diidentifikasi di Wuhan, China pada Desember 2019), para ahli di dunia mengatakan bahwa herd immunity dapat tercapai jika proporsi minimal 70 persen penduduk sudah divaksin terpenuhi. 

70 persen dari jumlah penduduk Indonesia, artinya sekitar 189 juta penduduk Indonesia sudah mendapat vaksin penuh (dua dosis vaksin Covid-19). Dengan kata lain, total dosis vaksin yang dimiliki Indonesia harus ada 378 juta dosis untuk minimal 189 juta orang.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie