KAIRO. Fuad Syarif dan keluarganya menunggu dua tahun untuk mendapatkan visa agar bisa menetap di Amerika Serikat. Mereka menjual rumah dan meninggalkan pekerjaan serta sekolah di Irak sebelum merencanakan kehidupan baru tersebut Namun, Syarif, istrinya, dan ketiga anaknya dilarang menumpang penerbangan langsung dari bandar udara Kairo, Mesir, menuju New York, AS, pada Sabtu (28/1)
Mereka tiba-tiba menjadi korban larangan bepergian sesuai dengan kebijakan presiden baru AS Donald Trump terhadap tujuh negara berpenduduk sebagian besar Muslim. Paspor mereka disita, sekeluarga putus asa itu semalam ditahan di bandar udara Kairo dan dipaksa menumpang pesawat kembali ke kota Erbil, Irak utara, Minggu pagi. "Kami diperlakukan seperti pengedar narkoba, dikawal sejumlah petugas pemulangan," kata Syarif kepada
Reuters saat ditelepon dari bandar udara Kairo. "Saya merasa sangat bersalah kepada istri dan anak-anak saya. Saya merasa saya lah yang menjadi alasan di balik kekecewaan mereka," katanya. Dalam melakukan tindakan pembersihan sejak menjabat sebagai Presiden AS sepekan yang lalu, Trump menandatangani surat keputusan pada Jumat, yang menangguhkan masuknya orang-orang dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman selama kurang lebih 90 hari. Dia menyatakan bahwa kebijakannya itu akan membantu mengamankan AS dari para teroris. Larangan melakukan perjalanan itu seketika memberikan dampak, mendatangkan malapetaka, dan memusingkan bagi orang-orang yang bepergian dengan memegang paspor tujuh negara tersebut. Syarif dan keluarganya di antara para korban pertama kebijakan itu.
Syarif mengaku dipekerjakan oleh perusahaan farmasi sebelum meninggalkan Irak, namun dia mengerjakan beberapa proyek yang didanai sejumlah organsasi AS, seperti USAID dalam beberapa tahun setelah AS melakukan invasi dan menduduki Irak. Keluarganya mengajukan permohonan visa AS pada September 2014 setelah situasi keamaan di Irak terus memburuk seiring dengan pemberontak ISIS merebut beberapa petak di negaranya dan melakukan serangan membabi-buta. Pekerjaan Sharef dengan lembaga di AS membuatnya sangat rentan terhadap serangan oleh kelompok militan yang memandangnya sebagai pengkhianat. "Saya mengajukan permohonan kepada imigrasi atas beberapa alasan. Pertama, saya bekerja dengan lembaga di AS sehingga menempatkan saya dalam kerentanan ancaman dari organisasi terorisme. Kedua, saya tertarik dengan (SIV) program dan anak saya tertarik melanjutkan pendidikannya di AS," ujarnya.
Editor: Yudho Winarto