Trump: Senjata AS yang tertinggal di Afghanistan bisa direkayasa China dan Rusia



KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Perginya pasukan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan memang membuat banyak pihak khawatir. Tak terkecuali mantan Presiden AS Donald Trump. Trump yang kini sudah purna tugas, khawatir akan banyaknya peralatan militer negara yang tertinggal di Afghanistan dan berpotensi disalahgunakan pihak lawan.

Trump jadi salah satu tokoh yang cukup rajin mengkritik kebijakan Presiden AS Joe Biden untuk menarik seluruh pasukan AS dari Afghanistan. Menurutnya, langkah tersebut adalah awal mula dari kekacauan baru di Afghanistan, bahkan di AS.

Kali ini Trump memusatkan perhatiannya pada peralatan militer AS yang banyak tertinggal di sana. Trump khawatir China dan Rusia akan datang dan merekayasa beragam peralatan militer buatan AS tersebut.


"Saya jamin bahwa China dan Rusia sudah memiliki helikopter Apache kita dan mereka membongkarnya untuk mengetahui dengan tepat bagaimana mereka dibuat. Mereka memisahkannya sehingga mereka bisa membuat peralatan yang sama persis," kata Trump dalam wawancaranya dalam program Full Measure, seperti dikutip Sputnik News.

Baca Juga: Sekjen PBB: Menyelesaikan masalah di Afghanistan adalah sebuah fantasi

Trump sangat percaya bahwa China dan Rusia sangat mahir dalam merekayasa peralatan militer buatan negara. Meninggalkan peralatan militer kepada mereka dianggap Trump sebagai sesuatu yang memalukan.

Kekhawatiran Trump ini didasarkan pada dekatnya China dan Rusia dengan Taliban belakangan ini. Kedua negara rival AS tersebut telah berulang kali menunjukkan perhatian lebih kepada Afghanistan yang kini dikuasai Taliban.

Bukan tidak mungkin jika dalam waktu dekat keduanya akan datang untuk melakukan pembicaraan resmi dengan petinggi Taliban.

Lebih lanjut, Trump juga meragukan gagasan bahwa perang AS di Afghanistan telah berakhir. Trump juga meragukan latar belakang orang-orang Afghanistan yang dievakuasi ke AS. Orang-orang dengan latar belakang tidak jelas ini dinilai bisa menjadi masalah baru di AS.

Baca Juga: Baru sebulan menguasai Afghanistan, Taliban sudah dihantui krisis ekonomi