Anggaran pendidikan jumbo tapi skor PISA justru melorot, kenapa?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar mengecewakan datang dari hasil survei The Programme for International Student Assessment (PISA) edisi 2018 oleh  Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). 

Survei yang dilakukan terhadap siswa sekolah berusia 15 tahun di berbagai negara tersebut mengungkap, skor PISA Indonesia mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil terakhir pada tiga tahun sebelumnya yakni di 2015. Tak hanya itu, skor PISA Indonesia juga masih berada jauh di bawah rata-rata skor PISA yang diraih negara-negara anggota OECD.  

Menurunnya capaian skor PISA Indonesia menjadi ironi mengingat besarnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan selama ini, yaitu 20% dari total belanja APBN sesuai amanat Undang-Undang.

Baca Juga: Skor PISA Indonesia makin menurun, fokus pemerintah pada SDM makin genting

Dalam APBN 2020, total anggaran pendidikan mencapai Rp 508,1 triliun terdiri dari anggaran pemerintah pusat, transfer ke daerah, maupun dana abadi dalam pembiayaan. Anggaran pendidikan jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2015 lalu yang hanya sebesar Rp 390,3 triliun. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, permasalahan kualitas pendidikan Indonesia memang sama sekali bukan soal kekurangan uang. 

“Bukan tidak punya duit. Itu besar sekali yang dianggarkan. Misalnya budget kita untuk belanja negara Rp 2.500 triliun, sesuai UUD harus 20% untuk pendidikan. Berarti setiap tahun ada Rp 500 triliun anggaran pendidikan,” tutur Suahasil, Rabu (4/12) malam. 

Yang menjadi masalah, lanjut dia, ialah pemanfaatan anggaran pendidikan yang tidak optimal. Pasalnya, membelanjakan anggaran pendidikan tak semudah membelanjakan anggaran infrastruktur seperti yang lima tahun terakhir menjadi fokus pemerintah. 

Suahasil menyebut, belanja anggaran pendidikan harus dilakukan dengan cerdas. “Beda dengan (belanja) infrastruktur. Kalau untuk pendidikan uangnya ada tapi cara pakainya yang harus lebih cerdas,” tandas dia. 

Editor: Herlina Kartika Dewi