DPR Ingatkan Kementerian BUMN Perhatikan Ketahanan Pangan dan EBT



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengajukan pagu indikatif serta Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun 2023 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kementerian tersebut mengajukan PMN Tunai kepada 10 BUMN senilai Rp 69,82 triliun. Sementara pagu indikatif Kementerian BUMN diajukan Rp  232 miliar yang terdiri dari dukungan program Manajemen Rp 162 miliar serta program pengembangan dan pengawasan BUMN Rp 69,28 miliar.

Menteri BUMN Erick Thohir dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI-DPR mengatakan pagu indikatif ini merupakan dukungan terkecil dibandingkan dengan kementerian lain yang ada. Sehingga dirinya berharap bisa ditambah lagi dengan tetap mengedepankan efisiensi dan kalkulasi.


"Kami tetap berharap bisa bekerja secara efisien dan kalkulatif, kami tetap ingin anggaran kami dijaga di angka Rp 300-an miliar dan tidak menurun," ungkap Erick, Selasa (7/6).

Baca Juga: Bank BTN (BBTN) Siap Rights Issue, Simak Prospeknya Menurut Analis

Anggota Komisi VI DPR RI Singgih Januratmoko mengatakan, mendukung penuh pagu indikatif dan PMN tersebut. Namun, dia melihat ada dua hal penting yang harus diperhatikan pemerintah yakni terkait program ketahanan pangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan. 

Ia menyoroti PMN yang diperuntukkan untuk PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)/ID Food dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). PT RNI mendapat PMN sebesar Rp 2 triliun yang akan digunakan untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha perusahaan, untuk pengembangan usaha mewujudkan ketahanan pangan nasional (Pengembangan Usaha).

Sementara PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mendapatkan Rp10 triliun, yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, termasuk program listrik desa dan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Menurut Singgih, PT RNI harus benar-benar fokus mewujudkan ketahanan pangan, yang sejak era Reformasi hanya menjadi jargon setiap Pemilu, “Ketahanan pangan dulu disebut swasembada pangan, hanya pernah terjadi pada era Orde Baru. Kini, lebih dari dua dekade ketahanan pangan belum terwujud,” ujarnya.

Singgih menyontohkan pangan yang berhubungan langsung dengan masyarakat bawah seperti kedelai untuk tempe dan beras sebagai pangan pokok, sangat bergantung pada impor. Sementara jagung yang digunakan sebagai bahan pokok pakan ayam pedaging dan petelur, juga masih impor,

“Negeri ini diberkahi tanah yang subur dan musim yang bersahabat, anehnya pangan yang sejak nenek moyang sudah ada justru impor,” keluhnya.

RNI memiliki tugas mewujudkan swasembada pangan. Oleh karena itu, lanjut Singgih, harus lebih dekat dengan petani dan peternak rakyat. Perusahaan itu tidak boleh hanya mengejar laba untuk kas negara, tapi kreatif dalam menggalang kerja sama dengan petani dan peternak rakyat.

Editor: Yudho Winarto