Ekonom Ini Kritik Penerapan DMO Minyak Goreng, Mau Disimpan Dimana?



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah menerapkan kewajiban memasok pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) minyak goreng. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, efektivitas pemberlakuan DMO minyak goreng dapat dilihat setelah pemberlakuan.

Namun yang perlu jadi perhatian adalah siapa pihak yang akan mengelola DMO minyak goreng yang ditetapkan sebesar 20% dari volume ekspor setiap tahunnya.

Jika dikomparasikan dengan DMO batubara, Rusli menyebut, terdapat perbedaan. DMO batubara terdapat pembeli yang jelas yakni PLN. "Kalau DMO sawit, 20% mau taruh dimana? Bagaimana mekanismenya? Dua komoditas ini beda," kata Rusli


Rusli menambahkan,  DMO minyak goreng juga berpotensi menaikkan harga CPO dunia. Ia menyebut, penerapan tersebut akan memicu kenaikan harga CPO lebih tinggi bahkan berpotensi menjadi backfire bagi Indonesia.

Baca Juga: Kebijakan DMO dan DPO Sawit Dikhawatirkan Bakal Tekan Harga TBS

Direktur Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institite (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, siapa pihak yang akan mengelola DMO minyak goreng nantinya harus jelas. Sebab, ketentuan DMO 20% merupakan porsi yang cukup besar. Maka memerlukan penampungan atau pengelola yang sangat besar.

"Siapa yang mengelola itu? Mau ditaruh dimana? Itu besar loh 20% kita enggak punya kapasitas tangki. Enggak mungkin itu dibikin di tangki Pertamina kan ini minyak makanan," ujar Tungkot.

DMO minyak goreng memang merupakan kebijakan jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah persiapan dari penerapan kebijakan tersebut, seperti misalnya pengelolaan logistik.

Tungkot menyebut, pemerintah sendiri tidak memiliki tangki penampungan. Sedangkan kapasitas yang dimiliki PTPN juga tidak begitu besar. Oleh karenanya perlu dipersiapkan sarana dan logistik dari implementasi DMO nantinya.

Ia khawatir pemerintah belum siap dalam infrastruktur untuk implementasi DMO minyak goreng.

Tungkot mengusulkan, untuk meredam tingginya harga minyak goreng, pemerintah dapat mengefektifkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) dipadukan dengan menaikkan pungutan ekspor baik CPO dan produk turunannya. Ia menilai, cara ini lebih efektif dengan menghentikan ekspor CPO ataupun minyak goreng.

Selama 10 tahun ini Indonesia dinilai telah berhasil melakukan hilirisasi CPO dalam negeri, hingga ekspor Indonesia tinggal 8% hingga 10% saja. Tahun lalu, Indonesia mengekspor sekitar 37 juta ton semua jenis minyak dan porsi CPO hanya 8%.

"Untuk sementara naikkan pungutan ekspornya untuk beberapa produk minyak itu. Dan untuk melindungi konsumen ya HET itu dioperasionalkan. Yang jadi persoalan HET antara barang yang sama itu beda, ini akan menciptakan disparitas," kata Tungkot.

Baca Juga: Ini Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng yang Ditetapkan Pemerintah

Editor: Khomarul Hidayat