Pajak Karbon bisa memperburuk ekonomi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana untuk menarik pajak karbon sebagai sumber baru penerimaan negara ke depan. Namun, implementasinya diyakini justru dapat memperburuk perekonomian Indonesia.

Rencana pengenaan pajak karbon diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUUP tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Beleid ini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.


Adpaun pemerintah berencana menarik pajak karbon sebesar Rp 75 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pajak tersebut rencananya akan dikenakan kepada sektor hilir pencetak karbon.

Baca Juga: Ini Dua Poin yang Hambat G20 Membuat Komitmen untuk Atasi Perubahan Iklim

Dalam Naskah Akademik RUU KUP mengkaji untuk melihat dampak penerapan pajak karbon terhadap keuangan negara, pemerintah simulasi tarif terhadap konsumsi bahan bakar pada sektor pembangkit, industri, transportasi, dan plastik.

Hasilnya, dari data konsumsi menggunakan data tahun 2020 dengan asumsi penggunaan batu bara pada sektor pembangkit listrik dan industri, penggunaan solar dan bensin pada sektor transportasi tersebut, pemerintah bisa meraup Rp 31,91 triliun untuk penerimaan negara.

Kendati begitu, pemerintah tidak memungkiri, dari sisi makro, implementasi pajak karbon secara teknis akan mengakibatkan harga energi lebih tinggi. Efektivitas penerapannya bergantung pada besaran tarif yang dikenakan.

Hasil simulasi yang dilaksanakan dalam rangka penyusunan Naskah Akademi RUU KUP menunjukkan bahwa pajak karbon menimbulkan tekanan negatif bagi perekonomian.

Editor: Yudho Winarto