Pengamat: Penggunaan second line of defense oleh BI harus lihat waktu yang tepat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Perbankan dari Universitas Bina Nusantara Doddy Ariefianto menilai, penggunaan kebijakan second line of defense oleh Bank Indonesia (BI) harus melihat waktu (timing) yang tepat. Menurut Doddy kebijakan ini bisa digunakan apabila terindikasi adanya panic selling di dalam pasar keuangan.

"Jadi penggunaan kebijakan, terutama yang meliputi second line of defense atau yang lebih lanjut itu harus melihat timing jadi jangan sampai ikut panik juga," ujar Doddy kepada Kontan.co.id, Minggu (5/4).

Baca Juga: Sektor bisnis medis, e-commerce, dan FMCG masih tumbuh di tengah pandemi corona


Second line of defense ini digunakan oleh BI sebagai upaya untuk menjaga nilai tukar rupiah dan memperkuat nilai tukar. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi pergerakan nilai tukar agar tidak berada jauh di bawah fundamental.

Adapun second line of defense yang dimiliki BI sendiri, berupa pertukaran mata uang (bilateral) swap dengan bank sentral dari sejumlah negara seperti China, Jepang, Singapura, Australia, dan lain-lain.

"Jadi BI harus melihat timing, apakah misalnya kondisi pasar dikuasai oleh psikologis yang tidak sehat atau terjadi panic selling. Jika sudah seperti itu, baru dikeluarkan senjatanya," papar Doddy.

Doddy juga mengimbau, agar penggunaan second line of defense ini tidak ditujukan untuk menargetkan rupiah dengan nilai tukar tertentu, tetapi ditujukan untuk smoothing pergerakan nilai tukar agar tetap dalam koridor yang wajar. Menurutnya, akan lebih baik apabila Indonesia dapat menyamakan nilai tukar dengan berbagai negara berkembang lainnya, agar nilainya tetap kompetitif.

Baca Juga: Moody’s proyeksi pertumbuhan PDB Indonesia capai level terendah sejak 1999

"Kita harus align-kan dengan yang lain. Jika semua negara berkembang terdepresiasi 20% terhadap dolar, kenapa kita harus kejar depresiasi di angka 5%? Untuk mencapai itu kan kita menghabiskan amunisi. Berbeda kalau misalnya tekanan rupiah Indonesia mencapai level 20%, sedangkan negara lain hanya pada kisaran 10%-15%," ungkapnya.

Editor: Tendi Mahadi